Senin, 14 April 2008

DISLEKSIA

Terapi Baru bagi Penderita Disleksia

JAKARTA - Ahli medis menemukan terapi baru bagi para penderita disleksia alias kesulitan membaca dan menulis. Anak yang menderita disleksia sama sekali tidak bodoh. Sebab banyak penderita disleksia yang akhirnya menjadi orang sukses.

Kemampuan membaca dan menulis kerap menjadi acuan para orangtua dalam mengontrol kepandaian anaknya. ”Sudah bisa baca apa belum?” Demikian pertanyaan yang sering diajukan kepada seorang anak yang sudah mulai memasuki usia sekolah. Anak yang sudah bersekolah dan belum bisa lancar membaca dianggap bodoh atau tertinggal. Padahal bisa saja anak itu menderita disleksia, yakni gangguan membaca dan menulis akibat kelainan pada otak.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan pasien disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang mereka masih belum lancar membaca dan menulis. Bahkan sampai usia dewasa sekalipun mereka masih mengalami gangguan keduanya. Biasanya gangguan ini berupa kesalahan eja yang dilakukan terus-menerus secara konsisten. Seperti misalnya kata ”gajah” ducapkan menjadi ”gagah”. Atau kata ”pelajaran” menjadi ”perjalanan”. Belum pernah dicatat berapa tepatnya penderita disleksia di Indonesia karena memang kebanyakan orang tua tidak menyadarinya. Namun di Amerika Serikat (AS) sendiri ada lebih dari 40 juta orang, baik dewasa maupun anak-anak.

Kontroversial
Seorang jutawan pebisnis AS, Wynford Dore, juga mempunyai seorang anak perempuan yang menderita disleksia. Bahkan anak tersebut mulai mengalami depresi dan frustasi akibat tak bisa membaca dan menulis seperti anak seusianya. Akhirnya Dore mendirikan Dore Achievement Centers, sebuah yayasan yang merekrut semua ahli psikologi AS untuk khusus mempelajari ihwal disleksia. Yayasan ini akhirnya menemukan sebuah metode pengobatan yang terbilang baru dan kontroversial. Metode yang diklaim sudah membantu sebanyak 16.000 penderita disleksia sampai Inggris dan Australia ini berteori bahwa anak disleksia memiliki kekurangan pada aktivitas bagian otak yang bernama serebelum. Berlokasi di dasar otak, serebelum mengandung 50 persen sel saraf otak. Metode yang diajukan Dore adalah merancang latihan rutin setiap individu untuk menstimulasi daerah otak ini dengan sejumlah pembelajaran. Riset ini didukung oleh sejumlah ahli neurologi dari seantero AS. Namun tak semua setuju dengan metode tersebut.
”Apakah memang ada bukti bahwa aktivitas serebelum terlibat dalam kemampuan anak untuk membaca atau setidaknya menjadi pembaca yang lebih baik? Saya belum melihat bukti yang pasti,” komentar Prof. Sallu Shaywitz, psikolog dari Yale University, penulis Overcoming Dyslexia dan salah seorang ahli pengobatan disleksia seperti yang dilansir ABCNews Online baru-baru ini.
Shaywitz juga memperingatkan bahwa dibandingkan dengan terapi lain, program Dore menawarkan metode yang kurang penting. Cara seperti melakukan latihan untuk mengatasi masalah membaca sudah dipakai sejak lama, bahkan beberapa dekade silam. Versi terbaru dari teknik ini membutuhkan standar yang lebih tinggi.
Namun Dore berkeras bahwa terapi pengobatannya lumayan berhasil baik. ”Klien kami sering mengatakan bahwa mereka tak lagi mengalami gejala disleksia, mereka berhasil diobati,” ujarnya. Contoh pasien mereka adalah Michael dan Adam, anak usia 12 dan tujuh tahun yang mengikuti program tersebut selama 13 bulan dan telah menghabiskan biaya sekitar 4.000 dolar Amerika. Mereka mengikuti latihan seperti berdiri di atas papan bergoyang, melempar kantung dan mengayunkan bola selama sepuluh menit dua kali sehari. Kemampuan mereka memang mengalami peningkatan, terutama dalam hal membaca, sains dan matematika, subjek pelajaran yang kerap kurang mampu dipahami penderita disleksia. Menurut orang tua mereka, kepercayaan diri anak-anaknya juga mulai meningkat setelah mengikuti terapi.
Sebenarnya, apa itu disleksia? Seseorang yang menderita disleksia mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Kelainan ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan dalam menghubungkan antara lisan dan tertulis, atau kesulitan mengenal hubungan antara suara dan kata tertulis. Anak yang menderita disleksia yang belum diketahui, dapat merasa rendah diri karena kesulitan yang dialami dalam mengejar pelajaran dengan kawan-kawan sebaya. Kadang-kadang orang salah menduga bahwa anak yang menderita disleksia juga cacat jiwa.

Mayoritas Lelaki
Kalau seorang anak ditemui mulai punya kebiasaan membaca terlalu cepat hingga salah mengucapkan kata atau bahkan terlalu lambat dan terputus, maka itu adalah gejala disleksia. Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti apa penyebab gangguan ini. Yang jelas sebagian besar neurolog berpendapat ini merupakan faktor saraf atau otak, sama sekali bukan karena anak itu bodoh atau bahkan idiot seperti mayoritas pendapat orang.
Istilah disleksia berasal dari bahasa Yunani, yakni ”dys” yang berarti ”sulit dalam” dan lex (berasal dari legein, yang artinya ”berbicara”). Jadi, menderita disleksia berarti menderita kesulitan yang berhubungan dengan kata atau simbol-simbol tulis. Walau tidak menjalani pengobatan khusus, seorang penderita disleksia tidak akan selamanya menderita gangguan membaca dan menulis. Ketika pertumbuhan otak dan sel otaknya sudah sempurna, ia akan dapat mengatasinya.
Yang unik, sebagian besar penderita disleksia adalah kaum lelaki. Dr. Michael Rutter dari King’s College, London membuktikan bahwa jumlah murid lelaki di sekolah yang menderita disleksia setidaknya dua kali jumlah murid perempuan. Rutter dan rekan telah menganalisis lebih dari 10.000 anak-anak di Selandia Baru yang diikutkan dalam uji membaca standar. Usia anak-anak itu berkisar antara 7-15 tahun. Disleksia ditemukan pada 18 hingga 22 persen murid lelaki. Sedangkan pada murid perempuan hanya sekitar 8-13 persen saja.
Masih perlu dilakukan riset lanjutan untuk mengetahui penyebabnya. Namun berdasar diagnosis, gangguan kemampuan membaca pada anak lelaki disebabkan oleh kecenderungan mereka untuk bertingkah aneh-aneh dalam kelas ketika merasa frustasi pada pelajaran. Hasil temuan Rutter ini dipublikasikan dalam Journal of the American Medical Association, edisi terbaru.
Tapi kesimpulan tersebut ditepis oleh Sheldon Horowitz, direktur National Center for Learning Disabilities, berkomentar bahwa anak lelaki sesungguhnya tidak cenderung menderita disleksia.
(SH/merry magdalena)

Tidak ada komentar: