Kamis, 29 Agustus 2013

Artikel Tootie

Deteksi Resiko Autis Bayi dari Kemampuan Motorik Bayi 7 Bulan
Informasi : Widya Susilowati (081387301455, 021-92844885)
 
Keterampilan motorik bayi usia 7 bulan antara lain mampu menahan kepala, berguling, menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Jika seusia tersebut keterampilan motorik bayi rendah, bisa berisiko tinggi mengalami Autistic Spectrum Disorder (ASD) daripada anak-anak di populasi umum.

Demikian temuan penelitian yang disajikan dalam Konferensi Perkembangan Anak British Psychological Society di Newcastle seperti dirilis dari ScienceDaily, Selasa (13/9/2011).

Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Dr Elisabeth Hill (University of London), Dr Hayley Leonard (Goldsmiths) dan British Autism Study of Infant Siblings (BASIS) yang bermarkas di Birkbeck University of London.

Analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok yang berisiko ASD kurang memiliki keterampilan motorik yang baik dan terdeteksi sejak usia 7 bulan. Keterampilan motorik dapat berupa kemampuan motorik kasar seperti kemampuan untuk menahan kepala, berguling, belajar berjalan, serta keterampilan motorik halus seperti menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Rendahnya kemampuan motorik ini masih terlihat hingga 24 bulan penilaian.

"Meskipun bayi yang berisiko ASD belum tentu didiagnosis ASD, penelitian menunjukkan bahwa rendahnya perkembangan motorik bisa memiliki dampak negatif pada kemampuan bahasa serta perkembangan sosial dan kognitif dari waktu ke waktu. Rendahnya perkembangan motorik dapat berdampak pada perkembangan keterampilan sosial, prestasi sekolah dan performa jangka panjang," kata Dr Hayley Leonard, salah seorang peneliti.

Peneliti memeriksa bayi dengan kakak yang didiagnosa memiliki ASD. Hubungan saudara selama ini diketahui berisiko tinggi terkena gangguan autis. Para peneliti mengamati kemampuan bayi pada usia 7, 14 dan 24 bulan.

Hasil dua kelompok bayi yang berpartisipasi dalam penelitian itu adalah 54 bayi yang didiagnosis berisiko ASD berdasarkan diagnosis saudaranya, serta 50 bayi berisiko rendah tanpa diagnosis berdasarkan saudara. Bayi-bayi tersebut kemudian dievaluasi berbagai kemampuan motoriknya dan laporan orangtuanya yang juga ikut didokumentasikan.

Senin, 26 Agustus 2013

TIPS FOR PARENT

6 LANGKAH TANGANI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Untuk  anak berkebutuhan khusus, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:

  1. Persiapkan diri. Ada beberapa fase yang akan dilakukan orang tua, seperti menyangkal, menyalahkan, hingga menerima keadaan anak. Menurut Prof. Frieda, “Akan lebih mudah jika orang tua mempunyai komunikasi dengan berbagai pihak, seperti support group (misalnya, Parent Support Group), dokter yang sangat informatif, dll. Dengan begitu, Anda bisa mendapat dukungan dan informasi yang akurat tentang masalah yang dihadapi anak.”  
  2. Membuka diri. Secara bertahap, menerima keadaan anak dan tidak menyerah begitu saja. Setiap anak pasti mempunyai kemampuan atau bakat, sehingga orang tua perlu membantu anak untuk melalui masa-masa ini. 
  3. Selalu pantaulah. Ketika anak tidak berkembang sesuai usianya, coba amati apa yang terjadi dengannya. Bila mencurigai sesuatu, segera ke dokter anak. Dari ini, Mama bisa mendapat solusi apakah anak cukup ditangani dokter anak, atau haruskah ke psikolog, terapis, dll. 
  4. Dampingi anak. Anak perlu mendapat bantuan. Nah, orang tua harus selalu mendampinginya. Secara bertahap, kurangi ketergantungan anak pada Anda. Dari pendampingan sepenuhnya, sedikit demikian sedikit dikurangi, hingga akhirnya anak mandiri.” Anak memang harus dilatih keterampilan helf help, terutama sebelum anak mulai sekolah. Misalnya, toiletering, makan/minum sendiri, atau bisa mengatur dirinya sendiri (yakni mengetahui barang miliknya),” ujar Prof. Frieda.   
  5. Banyak-banyaklah menstimulasi. Dari lahir sampai 5 tahun adalah masanya untuk menstimulasi anak dengan cara mengajak bermain, bernyanyi, mengobrol, bercerita, dll. “Sayangnya, begitu melihat ada yang tidak beres, anak langsung diterapi atau dimasukkan ke sekolah oleh orang tuanya. Orang tua tidak melihat bagaimana pola pengasuhannya di rumah, yakni ia lebih asyik dengan dirinya sendiri, anak lebih banyak ditangani babysitter,” kata dr. Handryastuti. Jadi, luangkan waktu untuk menstimulasi anak. 
  6. Bekerja sama dengan sekolah. Kerja sama antara orang tua dan sekolah harus intens dan bersinergi. Komunikasi yang baik antara keduanya akan membuat anak lebih mudah beradaptasi di sekolah. Selain itu, pada saat ini, pemerintah telah menyediakan sekolah inklusi, yakni sekolah regular (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus ini dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus.