Rabu, 11 Desember 2013

Artikel Tootie


Oleh : CAMT, Wilfrid Laurier University

Kerusakan pendengaran ditengarai merupakan salah satu kecacatan syaraf yang paling merusakkan. Dimana kecacatan penglihatan merupakan handicap kita dengan sekeliling kita, sedangkan kecacatan pendengaran merupakan handicap komunikasi dengan masarakat (Darrow, 1989). Komunikasi merupakan dasar dari kehidupan social kita dan aktivitas intelektual, dan tanpa itu kita terputus dari dunia. Untuk alasan inilah, praktek klinik dalam terapi musik untuk tuna rungu di fokuskan pada area yang berhubungan dengan komunikasi seperti : pelatihan auditory, produksi suara (berbicara) dan perkembangan bahasa. Melalui penelitian dalam kekurangan pada komunikasi ini, terapi musik menjadi suatu efek kedua untuk memperbaiki rasa sosial dan kepercayaan diri.

Terapi musik masih dianggap tidak praktis. Dikarenakan sebagian besar orang masih mempunyai konsep yang salah terhadap ketuna runguan dalam kapasitasnya untuk mendengar dan mengapresiasi stimulus musik. Seperti yang telah Darrow (1989) katakan, hanya sebagian kecil persentasi dari ketunarunguan yang tidak bisa mendengar sama sekali. Selanjutnya ia mengatakan bahwa, dikarenakan variasi dari frekuensi dan intensitas pada musik, persepsi musik malah lebih bisa ter-akses, dibandingkan dengan sinyal percakapan yang lebih kompleks. Musik juga sangat fleksible dan dapat dimodifikasikan pada level pendengaran pada setiap orang, level bahasa, kematangan dan preferensi musik.

Robbins & Robbins (1980), yang membuat manual resource yang komprehensif dan kurikulum bagi terapi musik untuk tuna runggu melakukan pendekatan terhadap subyek bersangkutan dengan mempunyai sikap yang mempercayai bahwa sense terhadap musik ada pada setiap orang. Melalui musik, mereka mengarah pada sensitivitas yang inherent dan kapasitas merespon langsung kepada ekspresi dari ritme dan variasi nada, yang dideskripsikan sebagai musik. Mereka juga menekankan, bahwa musik dari berbagai sisi mempunyai efek pada manusia. Musik merupakan media untuk aktivitas dalam bereksplorasi dan pengalaman diri, sehingga berhubungan langsung pada bicara dan bahasa, komunikasi dan pikiran, juga pada ekspresi tubuh dan emosi dalam skala besar. Sehingga terapi musik dapat masuk dan meningkatkan habilitas dan perkembangan secara luas bagi ketuna runguan.

Bagi penderita tuna rungu, terapi musik dapat:
 
Meningkatkan auditory, pelatihan dan perluasan penggunaan dari sisa pendengaran
Auditory training, merupakan bagian yang terintegrasi denga proses habilitasi pada penderita tunarungu. Tiap individu harus belajar untuk menginterpretasikan dan mengikuti suara, terutama percakapan dalam lingkungannya, dengan maksud untuk meningkatkan rate dan kulitas perkembangan sosial dan komunikasi. Tujuan utama dari auditory training ini adalah untuk mengembakan sisa pendengaran menjadi maksimal. Mereka harus belajar untuk mendengarkan mental yang kompleks dan proses aural. Pelatihan auditori cenderung fokus pada developmment dan fokus untuk analisis suara untuk pasien tuna rungu, dan ini akan menjadikan suatu proses yang membosankan dan tidak menarik. Maka dari itu musik menjadi suatu alat yang memotivasi dan menghidupkan sesi-sesi ini.

Percakapan dan musik mengandung banyak persamaan. Persepsi auditori pada percakapan dan musik melibatkan kemampuan untuk membedakan antara perbedaan suara, pitch, durasi, intensitas dan warna nada dan bagaimana suara bisa berubah-ubah sepanjang waktu. Properti-properti ini terdapat pada kemampuan pendengaran untuk menginterpretasi suara dan mengartikannya. Persamaan yang ada antara musik dan percakapan menyebabkan musik dan terapi musik membuat suatu alternatif dan alat yang menyenangkan untuk melengkapi tehnik pelatihan auditory sebelumnya (Darrow, 1989).
Prosedur terapi musik dapat dapat memberikan beberapa obyek pada pelatihan auditory. Perhatian terhadap suara, perhatian terhadap perbedaan dalam suara, mengenali obyek dan juga suara obyek tersebut, dan penggunaan pendengaran untuk menentukan jarak dan lokasi dari suara dapat dilatih melalui pengalaman pada musik (Darrow 1989). Selain itu, Robbins & Robbins (1980) menemukan bahwa dengan musik yang cocok lebih gampang untuk di dengar dan diasimilasikan dibandingkan dengan percakapan, sehingga lebih cocok untuk dapat menstimulasi motivasi alami pada sisa pendengaran.

Amir & Schuchman (1985) membuat suatu program terapi musik untuk mengembangkan dan meningkatkan kecakapan dalam kesadaran akan suara musik, kesadaran akan kontras intensitas, menyadari adanya suara musik dan juga patron dari musik tersebut. Suatu investigasi untuk melihat keefektifan dari program tersebut memberikan suatu hasil bahwa ada aspek-aspek tertentu untuk seseorang yang profoundly deaf dapat diukur peningkatannya melalui suatu program sistimatik pada pelatihan pendengarannya dalam konteks musikal. Terutama level pendiskriminasian subyek secara signifikan meningkat dan pelatihan dari subyek dalam menerima musik dan juga lingkungan musik tersebut. Amir & Schuchman selanjutnya menyuport penggunaan terapi musik ini dikarenakan hal ini memberikan suatu diversifikasi yang menarik dan pengalam pengajaran yang positif, dengan memperkuat penggunaan sisa pendengaran. Meningkatkan perkembangan percakapan dan meningkatkan intonasi/ritme suara dalam percakapan.

Suara dari seseorang yang mempunyai kekurangan pendengaran sering terdengar aneh dan tidak natural. Pada individu ini sering terjadi kurangnya feedback mekanisme internal yang diperlukan untuk memonitor dan menyesuaikan, sebagai contoh, pelafalan kata-kata, perubahan tinggi rendah (pitch) suara ataupun ritme suara. Sebagai konsekuensi produksi dari suara percakapan mereka sering tidak jelas dan terdistorsi. Penderita tuna rungu ini juga cenderung menunjukkan sedikit variasi pitch dan intonasi dibandingkan orang dengan pendengaran normal, sehingga menghasilkan suara yang monoton. Mereka sering memanjangkan suku kata dan atau kalimat dan juga sering mengambil jeda pada posisi yang tidak tepat. Problem-problem dari ritme dan intonasi ini berpengaruhi pada ketidak jelasan dalam bercakap.

Tehnik dari terapi dan aktivitas musik dapat membantu secara efektif pada perkembangan percakapan dari segi ritme, intonasi, rate dan tekanan suara. Darrow (1989) mendisikusikan penggunaan terapi musik dalam pengertian berbahasa, intonasi vokal, kualitas vokal dan berbicara lancar. Proses bernafas, ritme dan pengambilan waktu yang tepat, pitch dan artikulasi yang diperlukan untuk bernyanyi, memberikan struktur dan motivasi yang penting pagi pasien. Darrow juga menekankan pada pentingnya feedback yang konstan untuk si terapis.

Darrow & Starmer (1986) mempelajari efek dari pelatihan vokal pada frekuensi dasar, range frekuensi dan kecepatan percakapan pada suara anak-anak tuna rungu. Anak-anak ini cenderung mempunyai frekuensi dasar yang tinggi dan sedikit variasi pitch, memproduksi suatu permasalahan dalam kecakapan berbicara. Hasil dari studi ini menyarankan bahwa dengan latihan pada vokal tertentu dan menyanyikan lagu-lagu pada kunci nada rendah yang tepat dapat membantu memodifikasian frekuensi dasar dan range frekuensi pada pasien. Studi lain dari Darrow (1984) juga menunjukkan peran dari terapi musik adalah melatih respons ritme, sehingga membuat respons pada ritme dari suara percakapan menjadi lebih baik.

Staum (1987) telah sukses menggunakan notasi musik untuk mempengaruhi dalam memperbaiki pengucapan bahasa pasien. Ia menggunakan sistem notasi visual sebagai alat untuk membantu pasien dalam mencocokkan kata-kata atau suara dari kata-kata baik yang lazim maupun tidak lazim, dengan ritme yang tepat dan struktur yang dari pitch yang mudah. Hasil positif yang didapat adalah nada pelafalan pengucapan lebih berkembang, juga penyamarataan dan transfer ilmu berkembang secara signifikan.
Robbins & Robbins (1980), setelah pelatihan pada pasien tunarungu, mengatakan bahwa kontribusi dari terapi musik untuk memperkuat dan/atau mempercepat pembelajaran dan penggunaan percakapan, vokal yg lebih luas/spontan dan mantap, memperbaiki kualitas suara dan lebih leluasa dalam menggunakan intonasi dan ritme.
Meningkatkan perkembangan dan pendidikan bahasa, dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara umum. Bagi anak-anak tuna rungu, keterbatasan input pendengaran tidak hanya mempengaruhi kemampuan untuk mendengar suara percakapan dari orang lain, namun juga mempunyai dampak negatif terhadap perkembangan bahasa mereka sendiri. Keteraturan memperdengarkan bahasa melalui pendengaran, memberikan informasi penting mengenai vocabulary, syntax (kalimat), semantics (arti kata) dan pragmatics, yang mana hal ini secara langsung diterima oleh anak dengan pendengaran normal. Tanpa keteraturan mendengarkan ini, bagi anak dengan pendengaran terbatas biasanya akan mempunyak banyak problem pada bahasa mereka. Kesulitan itu biasanya terdapat pada kurangnya vocabulary, kesulitan dalam mengartikan kata, menggunakan kata yang salah, struktur dan isi bahasa yang salah, dan lainnya. Kesulitan-kesulitan dalam menggunakan bahsa ini selanjutnya akan menghalangi individu tersebut dari komunikasi yang mempunyai arti dan juga berinteraksi. Problem berbahasa dapat menimbulkan efek negatif pada pendidikan seperti membaca, menulis dan pemahaman (Gfeller, & Baumann, 1988).

Secara signifikan terapi musik memberikan konstribusi pada kemampuan untuk berkomunikasi dan berbahasa pada pasien tuna rungu. Sebagai contoh Gfeller (1990), mendiskusikan tentang pengayaan repertoire musik dan pengalaman bergerak dalam terapi musik, yang dapat di gabungkan dengan percakapan dan, setelahnya penulisan kata. Anak-anak kecil terutama menggunakan setiap saat pergerakan motorik dan belajar sesuatu melalui manipulasi dari lingkungannya. Instrument musik dan materialnya kaya akan sumber-sumber keterlibatan pada sensorik dan motorik. Pengalaman pada Multi sensory bahwa musik merupakan alat pembelajaran yang bernilai, yang pada akhirnya juga terkait pada representasi mental atau simbol, Gfeller (1990). Event musik dan sekuensialnya dapat dibuat oleh para terapis sebagai model penggunaan bahasa untuk anak. Semenjak rehabilitasi bahasa merupakan suatu proses yang panjang dan lama, terapis musik dapat memberikan motivasi penting untuk membuat aktifitas menjadi bermain dan menyenangkan. Aktivitas dalam terapi musik dapat juga membuat suatu oportuniti untuk menggunakan konsep bahasa dalam konteks yang berbeda.

Penelitian lain juga menemukan bahwa integrasi musik dalam pendidikan sebagai bahasa seni sangat menguntungkan (Darrow, 1989; Gfeller, & Darrow, 1987). Tidak hanya meningkatkan motivasi tapi juga memberikan sebuah pendekatan multi sensori untuk belajar, yang dapat membantu pasien untuk mendalami arti dari kata-kata baru. Bernyanyi contohnya, memberikan suatu kesempatan untuk secara intensif menggunakan pendengaran dan beraktifitas vokal. Mempelajari lagu dapat menstimulasi latihan dalam pembedaan auditori, membedakan dan meleburkan bunyi huruf, pengucapan suku-suku kata dan pelafalan kata (Gfeller, & Darrow, 1987). Hal ini dapat juga membantu mengembangkan penguasaan kata-kata dan memberikan suatu pengalaman dalam belajar membuat struktur kalimat dan semantiknya. Membuat lagu dapat juga bertujuan sama. Lagu juga mempunyai kelebihan dalam melafalkan suatu patron nada, menjadi tidak monoton.

Disamping meningkatkan perkembangan bahasa dan mendidik bahasa pada pasien tuna rungu, terapi musik juga meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan memberikan semacam kesadaran dan kemampuan melihat suatu arti yang diselaraskan/disampaikan melalui “nada pada suara”. Hal-hal penting didalam berkomunikasi dengan orang lain adalah espresi wajah, body language, dan pitch serta intensitas dinamik. Kesadaran dan kepekaan terhadap style dari bahasa yang diucapkan oleh diri sendiri dan orang lain, dapat diberikan dengan berhasil melalui penerapan terapi musik. Dengan menggayakan suatu lagu dan memberi isyarat pada lagu dengan cara yang “gaya baik/indah”, seseorang dapat mempelajari untuk menggunakan dan menyadari nuansa dalam berkomunikasi dengan yang lain (Gfeller, & Darrow, 1987). Berisyarat dalam bernyanyi juga memberikan suatu kesempatan untuk mengeksplorasikan ekspresi dari emosi sendiri, karena lirik dan melodi secara persamaan dapat mengungkapakan suatu ekspresi jiwa dibandingkan dengan hanya berbicara.
Mengembangkan jiwa sosialisasi, kesadaran diri, kepuasan emosinal dan meningkatkan kepercayaan diri. Didalam beberapa literatur mengkarakterkan bahwa seseorang tuna rungu mempunya perasaan kuat akan rendah diri dan depresi, juga mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi dan tertutup (lihat ulasan ulang dari Galloway, & Bean, 1974). Body-image dan kesadaran yang tidak terlalu baik, kurangnya berbahasa dan berkomunikasi, dan tertutupnya rasa sosialisasi, memberikan kontribusi secara signifikan pada perasaan-perasaan ini. Terapi musik dapat memberikan kesempatan yang penting untuk memperbaiki masalah ini dan meningkatkan rasa percaya diri seseorang yang tuna rungu.

Brick (1973) menemukan eurhythmics—Seni dari keharmonisan dan gerak tubuh yang ekspresif—dan aktifitas musik yang memberikan pasien suatu pengalaman yang menyenangkan, dimana hal tersebut memberikan energi kreatif untuk pasien. Hal ini sebaliknya membantu mengembangkan kepercayaan diri, memberi rasa bangga dalam menyelesaikan sesuatu dan bekerja sama dalam satu grup. Robbins & Robbins (1980) juga menemukan bahwa aktifitas kelompok musik dapat memberikan contoh untuk menyesuaikan didalam bersosialisasi. Hasil hakiki yang didapat dalam pengalaman bermusik sepertinya dapat memotivasi pasien yang selalu melawan untuk dapat bekerja sama (co-operative), yang selalu tidak fokus menjadi fokus dan yang selalu gagal menjadi berusaha untuk selalu menyelesaikan pekerjaannya. Pasien yang juga selalu jelek/gagal dalam hal lain, dapat menerima bantuan spesial dan kompensasi yang baik melalui terapi musik ini.
Body-image dan kesadaran juga dapat meningkat melalui terapi musik ini. Galloway & Bean (1974) menemukan bahwa aktivitas bernyanyi dan melakukan gerakan pada musik juga efektif. Robbins & Robbins (1980) juga menekankan pentingnya realistis dan positif pada diri sendiri. Mereka menemukan juga bahwa kecakapan dalam bergerak yang dipelajari melalui musik dapat meningkatkan rasa percaya diri, koordinasi, sikap tenang yang alami dan kesadaran akan jati diri.
Bernyanyi, bermain atau bergaya pada suatu lagu dapat menghasilkan seseorang untuk dapat berekspresi dan puas terhadap diri secara emosional. Gfeller & Darrow (1987) menyarankan bahwa bergaya atau bernyanyi pada lagu yang dibuat sendiri, juga dapat membuat seseorang tuna rungu untuk mengekspresikan atau mengilustrasikan pikirannya, perasaannya dan idenya bila hal itu terlalu sulit untuk dituliskan. Staum (1987) juga menemukan bahwa tehnik dan prosedur terapi musik dapat memberikan suatu skill yang fungsional yang dapat terintegrasi langsung di dalam pelajaran musik secara private maupun secara klasikal. Melalui suatu cara yang dapat di transfer diluar sesi terapi, seseorang lebih bisa dan senang untuk berekspresi pada situasi baru , bertemu orang baru, dan dapat bekerja dalam suatu grup-grup. Hal ini sebaliknya pula memberikan suatu rasa tanggung jawab sosial juga kesadaran, kebanggan dan kepercayaan diri dan sosial.

Artikel Tootie

Mengenal Inklusi Bagi Anak Tuna Rungu

Artikel ini menjelaskan Bagaimana penerapan Program Pendidikan Inklusi Untuk Anak Gangguan Pendengaran.

Pendidikan Inklusi adalah kebersamaan untuk memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah , mulai dari jenjang TK, SD, SLTP Sampai dengan SMA.
Pada kasus gangguan pendengaran, pendidikan inklusi ini adalah kelanjutan dari model terapi mendengar (Auditori Verbal Terapi) yang telah dilakukan pada anak gangguan pendengaran pada usia dini. Dengan dasar-dasar pendengaran yang lebih baik, pelayanan terhadap pendidikan yang harus diberikan juga semestinya lebih terpadu dan terarah. Pelayanan ini dalam rangkaian usaha pendidikan inklusi bagi anak dengan gangguan pendengaran akan lebih baik jika melakukan pendekatan model Natural Auditory Oral.
Tujuan dari dari pendidikan inklusi bagi anak gangguan pendengaran ini antara lain
  • Adanya kebutuhan untuk bersosialisasi dan berintegrasi dengan anak sebaya di sekolah maupun di dalam lingkungan rumah
  • Adanya optimisme keluar dari problem komunikasi bagi anak gangguan mendengar, dengan penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
  • Penghayatan dan menumbuhkan rasa empati dari kalangan anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus.
  • Penanganan Anak Gangguan Pendengaran
  • Pemberian Intervensi dini/awal yaitu memberikan layanan deteksi dini, diagnosa, konsultasi, fasilitator dan penyediaan Alat Bantu Dengar dan Implant Coachlea, perawatan dan servisnya.
  • Program habilitasi dengan menitikberatkan pada perbaikan cara komunikasi anak dengan menggunakan pendengaran sebagai titik tolak dalam berinteraksi dengan lingkungan luar anak.
  • Program pelayanan pendidikan terpadu, memberikan penyetaraan pada sekolah khusus untuk dipersiapkan pada jalur pendidikan reguler.
Memberikan assesment awal pada anak yang telah masuk pada sekolah regular dengan pendampingan sebagai guru kunjung.
 
Sumber :http://bikabeleswaraswari.multiply.com/journal/item/1

Jumat, 13 September 2013

KARIR - LOWONGAN PEKERJAAN

DIBUTUHKAN SEGERA
Pusat Terapi dan Edukasi Anak Berkebutuhan Khusus TOOTIE KIDZ CENTER yang sedang berkembang dan dalam rangka pembukaan cabang baru di wilayah Pamulang Tangerang Selatan, membutuhkan beberapa tenaga kerja muda, terampil, dinamis, profesional dan cinta pada dunia anak. Untuk mengisi jabatan sebagai :
1. Terapi Okupasi (2 orang)
    Kualifikasi :
  • Pria/Wanita
  • Pendidikan : D3 Okupasi Terapi
  • Menguasai Komputer (Ms.Office Word, Excel dan Power Point)
  • Komunikatif, mampu mengkomunikasikan dengan baik hasil pekerjaan pada stakeholders
  • Motivasi kerja tinggi
  • Pengalaman kerja (lebih diutamakan)
  • Penempatan : Kelapa Dua Tangerang dan Pamulang Tangerang Selatan
2. Fisioterapi (1 orang)
    Kualifikasi :
  • Pria/Wanita
  • Pendidikan : D3/S1 Fisioterapi
  • Menguasai Komputer (Ms.Office Word, Excel dan Power Point)
  • Komunikatif, mampu mengkomunikasikan dengan baik hasil pekerjaan pada stakeholders
  • Motivasi kerja tinggi
  • Pengalaman kerja (lebih diutamakan)
  • Penempatan : Kelapa Dua Tangerang
3. Tenaga Administrasi (1 orang)
    Kualifikasi :
  • Wanita
  • Usia 18 s/d 25 tahun (single)
  • Pendidikan minimum SMA/K - Diploma
  • Penampilan dan kepribadian baik
  • Terbiasa mengoperasikan komputer (Ms Office)
  • Pengalaman min 1 tahun dibidangnya
  • Mampu membuat laporan sederhana
  • Memiliki komunikasi yang baik
  • Supel,cekatan dan teliti
  • Motivasi kerja tinggi
  • Penempatan : Pamulang Tangerang Selatan
Peminat yang serius, kirim surat lamaran lengkap CV, Pasphoto terbaru, dan fotocopy ijasah ke :

TOOTIE KIDZ CENTER
Jl DAYUNG RAYA NO.28, Kelapa Dua - Tangerang - Contact Person Ibu Widya Susilowati : 081387301455 (021)-54213906 (021)-51273851
Atau via email : roobin41@ymail.com

TIPS FOR PARENT

Cepat Tangani Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut dr. Setyo Handryastuti, Sp.A(K), staf Divisi Neurologi Anak - FKUI/RSCM dan dokter di Klinik Anakku, “Begitu mencurigai anak berbeda dengan anak lain, sebaiknya orang tua langsung ke dokter anak. Biasanya, dokter akan melakukan screening untuk menentukan apakah anak normal atau tidak.

Perkembangan anak, terutama otaknya, akan berlangsung sampai ia berusia 5 tahun. Dan perkembangan otak terdiri atas motorik kasar, motorik halus, bicara bahasa, interaksi, dan kecerdasan. Kalau tidak normal, ini bisa berarti terlambat semua atau hanya beberapa domain yang terlambat.”

Sebetulnya, sebelum usia 5 tahun, ada gangguan yang bisa langsung diberi diagnosis karena cirinya jelas. Misalnya, anak Down Syndrome. Namun, ada juga yang tidak bisa atau belum bisa diberi diagnosis apapun. Misalnya, ADHD. Namanya juga balita. Ada yang aktifnya biasa saja, tidak aktif, dan aktifnya memang super (hiperaktif).

Pada usia ini, anak masih dalam masa eksplorasi dengan lingkungannya. Semua ingin dibuka, dituang, dipanjat, dilompati, dll. Jika anak sudah di usia sekolah, barulah bisa yakin kalau ia ADHD. Di usia ini, seharusnya ia sudah bisa duduk manis dan tidak mengganggu interaksi sosial dan lingkungannya. 

Prof. Frieda menambahkan, “Selain dokter anak, yang boleh menegakkan diagnosis adalah psikolog. Nah, diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur assessment yang bertanggung jawab. Misalnya, DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV). Di sini, bisa dilihat apakah anak memenuhi kriteria dan kategori, seperti autisme, ADHD, ODD (Oppositional Defiant Disorder), dll.” 

Dalam penanganan anak berkebutuhan khusus ini, idealnya memang pendekatan dilakukan secara integrasi, kata Prof. Frieda lagi. Mungkin kita bisa mencontoh negara tetangga yang membuat semacam assessment center di mana terdapat dokter, psikolog, neurolog, dan terapis (okupasi, wicara, dll). Dengan begitu, anak akan mendapat yang tepat sejak dini, bahkan dari lahir.  (Sumber:Parenting)

Kamis, 29 Agustus 2013

Artikel Tootie

Deteksi Resiko Autis Bayi dari Kemampuan Motorik Bayi 7 Bulan
Informasi : Widya Susilowati (081387301455, 021-92844885)
 
Keterampilan motorik bayi usia 7 bulan antara lain mampu menahan kepala, berguling, menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Jika seusia tersebut keterampilan motorik bayi rendah, bisa berisiko tinggi mengalami Autistic Spectrum Disorder (ASD) daripada anak-anak di populasi umum.

Demikian temuan penelitian yang disajikan dalam Konferensi Perkembangan Anak British Psychological Society di Newcastle seperti dirilis dari ScienceDaily, Selasa (13/9/2011).

Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Dr Elisabeth Hill (University of London), Dr Hayley Leonard (Goldsmiths) dan British Autism Study of Infant Siblings (BASIS) yang bermarkas di Birkbeck University of London.

Analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok yang berisiko ASD kurang memiliki keterampilan motorik yang baik dan terdeteksi sejak usia 7 bulan. Keterampilan motorik dapat berupa kemampuan motorik kasar seperti kemampuan untuk menahan kepala, berguling, belajar berjalan, serta keterampilan motorik halus seperti menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Rendahnya kemampuan motorik ini masih terlihat hingga 24 bulan penilaian.

"Meskipun bayi yang berisiko ASD belum tentu didiagnosis ASD, penelitian menunjukkan bahwa rendahnya perkembangan motorik bisa memiliki dampak negatif pada kemampuan bahasa serta perkembangan sosial dan kognitif dari waktu ke waktu. Rendahnya perkembangan motorik dapat berdampak pada perkembangan keterampilan sosial, prestasi sekolah dan performa jangka panjang," kata Dr Hayley Leonard, salah seorang peneliti.

Peneliti memeriksa bayi dengan kakak yang didiagnosa memiliki ASD. Hubungan saudara selama ini diketahui berisiko tinggi terkena gangguan autis. Para peneliti mengamati kemampuan bayi pada usia 7, 14 dan 24 bulan.

Hasil dua kelompok bayi yang berpartisipasi dalam penelitian itu adalah 54 bayi yang didiagnosis berisiko ASD berdasarkan diagnosis saudaranya, serta 50 bayi berisiko rendah tanpa diagnosis berdasarkan saudara. Bayi-bayi tersebut kemudian dievaluasi berbagai kemampuan motoriknya dan laporan orangtuanya yang juga ikut didokumentasikan.

Senin, 26 Agustus 2013

TIPS FOR PARENT

6 LANGKAH TANGANI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Untuk  anak berkebutuhan khusus, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:

  1. Persiapkan diri. Ada beberapa fase yang akan dilakukan orang tua, seperti menyangkal, menyalahkan, hingga menerima keadaan anak. Menurut Prof. Frieda, “Akan lebih mudah jika orang tua mempunyai komunikasi dengan berbagai pihak, seperti support group (misalnya, Parent Support Group), dokter yang sangat informatif, dll. Dengan begitu, Anda bisa mendapat dukungan dan informasi yang akurat tentang masalah yang dihadapi anak.”  
  2. Membuka diri. Secara bertahap, menerima keadaan anak dan tidak menyerah begitu saja. Setiap anak pasti mempunyai kemampuan atau bakat, sehingga orang tua perlu membantu anak untuk melalui masa-masa ini. 
  3. Selalu pantaulah. Ketika anak tidak berkembang sesuai usianya, coba amati apa yang terjadi dengannya. Bila mencurigai sesuatu, segera ke dokter anak. Dari ini, Mama bisa mendapat solusi apakah anak cukup ditangani dokter anak, atau haruskah ke psikolog, terapis, dll. 
  4. Dampingi anak. Anak perlu mendapat bantuan. Nah, orang tua harus selalu mendampinginya. Secara bertahap, kurangi ketergantungan anak pada Anda. Dari pendampingan sepenuhnya, sedikit demikian sedikit dikurangi, hingga akhirnya anak mandiri.” Anak memang harus dilatih keterampilan helf help, terutama sebelum anak mulai sekolah. Misalnya, toiletering, makan/minum sendiri, atau bisa mengatur dirinya sendiri (yakni mengetahui barang miliknya),” ujar Prof. Frieda.   
  5. Banyak-banyaklah menstimulasi. Dari lahir sampai 5 tahun adalah masanya untuk menstimulasi anak dengan cara mengajak bermain, bernyanyi, mengobrol, bercerita, dll. “Sayangnya, begitu melihat ada yang tidak beres, anak langsung diterapi atau dimasukkan ke sekolah oleh orang tuanya. Orang tua tidak melihat bagaimana pola pengasuhannya di rumah, yakni ia lebih asyik dengan dirinya sendiri, anak lebih banyak ditangani babysitter,” kata dr. Handryastuti. Jadi, luangkan waktu untuk menstimulasi anak. 
  6. Bekerja sama dengan sekolah. Kerja sama antara orang tua dan sekolah harus intens dan bersinergi. Komunikasi yang baik antara keduanya akan membuat anak lebih mudah beradaptasi di sekolah. Selain itu, pada saat ini, pemerintah telah menyediakan sekolah inklusi, yakni sekolah regular (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus ini dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus dan anak berkebutuhan khusus.

Rabu, 02 Januari 2013

Agenda Kegiatan : Seminar dan Sharing Session

UNDANGAN SEMINAR DAN SHARING SESSION

Salam...
Sebagai bentuk kepedulian dan perhatian Tootie Kidz Center terhadap perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (Childern with Special Need) dan upaya penanganannya, maka kami mengundang Bapak/Ibu/Sdr untuk hadir dalam acara Seminar dan Sharing Session, dengan agenda sebagai berikut:

Acara          : Seminar dan Sharing
Tema           : Memahami Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus dan Upaya Penanganannya
Waktu         : Sabtu, 26 Januari 2013
Pukul           : 09.00 - 12.00 WIB
Tempat        : Tootie Kidz Center, Jl. Dayung 28 Kelapa Dua Tangerang (samping pasar kelapa dua)
                     Contact Person : 021-54213906, 0813-87301455 (Ibu Widya)
Pembicara   : Tri Gunadi, A.Md. OT, S.Psi., S.Ked (Konsultan Pendidikan Luar Biasa pada Kemdikbud)
Moderator  : Widya Susilowati (Terapis dan kolumnis di Tootie Kidz Center)

Acara ini free (tidak dipungut biaya, dengan peserta terbatas maksimal 40 orang pendaftar pertama).
Peserta acara ini disarankan bagi para orang tua, guru dan terapis yang peduli pada perkembangan dan pertumbuhan anak kebutuhan khusus.

Demikian undangan ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapakan terima kasih.

Wassalam.

Hormat Kami,

Manajemen Tootie Kidz Center

LET'S JOIN WITH US FOR OUR CHILDERN DEVELOPMENT.......

Artikel Tootie


URGENSI PENDIDIKAN INKLUSI (SPECIAL EDUCATION)
Oleh : Widya Susilowati*
(Guru Terapis dan Pegiat peduli autisme
di Tootie Kidz Center Tangerang)

Saat ini pertumbuhan populasi anak berkebutuhan khusus (children with special need) di Indonesia menunjukan kecenderungan meningkat, baik dari level yang ringan sampai dengan level yang berat. Masalah ini terjadi pada semua kalangan masyarakat, baik kalangan kelas sosial kaya maupun kalangan kelas sosial miskin. Meskipun, tingkat perkembangan tersebut menunjukan trend meningkat namun penanganan secara holistik, sistematis dan berkesinambungan belum dilakukan dengan baik. Padahal generasi bangsa tersebut merupakan sebagai karunia Tuhan yang memiliki beragam potensi dan keunikan serta membutuhkan akan harapan bagi masa masa depannya dan masa depan bangsa.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang proses pertumbuhan dan perkembangannya mengalami penyimpangan secara bermakna (significantly) dari kriteria normal dalam karakteristik: mental-intelektual (yang gifted maupun yang retarded), sensorik, neuromotor atau fisik, perilaku sosial, emosional, hambatan kemampuan berkomunikasi, kesulitan belajar, berpenyakit kronis dan atau gabungan dari dua atau lebih karakteristik tersebut dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
Ragam dan bentuk anak berkebutuhan khusus pun sangat beragam mulai dari hal ringan sampai pada hal yang berat bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Diantara klasifikasi gangguan pada anak berkebutuhan khusus adalah tunagrahita (intellectual disability), kesulitan belajar (learning disability), gangguan perilaku atau gangguan emosi (behavior/emotional disorders), gangguan bicara dan bahasa (speech and language disorders), gangguan pendengaran (hearing impairments), gangguan komunikasi (communication disorder), gangguan penglihatan (visual impairments), kerusakan fisik dan gangguan kesehatan termasuk epilepsi (physical and other health impairments), cacat berat atau cacat ganda (severe and multiple handicaps), lantib dan berbakat (gifted and talented), anak dengan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan anak dengan Autistic Spectrum Disorder. Upaya pengklasifikasian tersebut dilakukan untuk keperluan modifikasi pelayanan pembelajaran dan penganannya secara tepat serta bukan untuk labeling.
Apabila permasalahaan tersebut tidak mendapatkan perhatian dan tidak ditangani secara serius maka akan berdampak negatif pada aspek psikologis dan sosial pada individu anak, keluarga dan masyarakat. Dampak bagi individu anak yakni tidak adanya kemandirian atau ketergantuang anak pada orang lain, terisolasi dalam komunitas sosialnya dan tidak tergalinya potensi dan bakat yang pada diri anak. Dampak bagi keluarga selain membutuhkan pembiayaan materi yang besar juga memiliki beban sosial-psikologis berupa rasa malu dan penolakan terhadap kondisi anak yang mengalami perkembangan abnormalitas. Sedangkan dampak bagi masyarakat setidaknya dapat menurunkan kualitas taraf hidup dalam struktur pembangunan manusia seutuhnya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan solusi nyata dan berkelanjutan terhadap masalah tersebut yaitu pemberdayaan layanan pendidikan. Hal itu sesuai dengan amanat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang menegaskan bahwa: "Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan" (education for all). Pemberian layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus dalam konteks ini adalah pendidikan khusus (special education) atau ortopedogik.
Dalam tataran konseptual layanan pendidikan khusus dimaknai sebagai layanan pendidikan yang memperhatikan kemampuan, karakteristik  dan kebutuhan dari ketunaan atau gangguan tiap-tiap anak yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan bakat kemanusiaan yang mereka miliki secara sempurna dan dapat berkembang secara optimal.
Pemerintah telah menjamin pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) tersebut dalam Undang-Undang, agar mendapatkan layanan pendidikan layaknya anak normal lain dan memberikan kesamaan hak dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus. Secara yuridis hal itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 pasal 32 disebutkan bahwa “Pendidikan khusus (pendidikan luar biasa) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental dan sosial dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat berbentuk dalam sekolah normal (reguler) dengan perlakukan khusus, sekolah luar biasa (khusus bagi anak yang menyandang handicap), sekolah unggulan (bagi anak gifted), sekolah terpadu (mainstreaming), sekolah inklusif (inclusive school), kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB (self-contained class), sekolah luar biasa tanpa asrama (special day school), pusat terapi terpadu (integrated terapy center), sekolah luar biasa berasrama (residential school).
Pentingnya pemberian layanan pendidikan khusus bagi anak berkebutuahn khusus (ABK) adalah pertama, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda (individual differences), memiliki kapasitas intelektual, sosial, suku, ras dan agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik, dan kebutuhannya. Kedua, potensi dan bakat siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus. Ketiga, siswa anak berkebutuhan khusus akan terbantu melakukan kemandirian dan adaptasi sosial dalam komunitasnya. Keempat, meningkatkan kualitas taraf hidup masyarakat dalam tatanan pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam implementasinya layanan pendidikan khusus sudah harus dapat diakses dan diperoleh bagi semua kalangan masyarakat baik dipedesaan maupun diperkotaan, baik bagi kalangan kaya maupun bagi kalangan miskin. Selain itu, setiap sekolah reguler harus berani memberikan ruang dan tempat bagi anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan bersama anak-anak normal, bukan sebaliknya justru aksesnya tertutup bagi kalangan tertentu dan menjadi ajang komersialisasi pendidikan.
Menghadapi masalah itu, bagi pemerintah perlu memberikan akses dalam bentuk penyiapan dan pengembangan sumber daya manusia (guru) yang kompeten untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Upaya itu dapat dilakukan melalui pemberian tugas belajar pada guru, workshop dan diskusi dengan pihak-pihak terkait seperti psikolog, terapis, dokter dan komunitas civil society yang peduli pada permasalahan anak.
Selain daripada upaya tersebut juga dibutuhkan adanya sinergi bersama antar stakeholders dalam penanganan masalah anak berkebutuhan melalui kegiatan promotif, rehabilitatif dan edukatif. Kegiatan promotif dilakukan dalam bentuk kampanye dan penyuluhan pada masyarakat agar memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang anak berkebutuhan khusus serta mampu mengembangkan sikap empati untuk menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus. Kegiatan rehabilitatif diberikan pada anak penyandang berkebutuhan khusus agar anak mampu dan dapat tumbuh kembang secara lebih baik sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya. Sedang kegiatan edukatif dilakukan untuk membantu mengembangkan potensi, minat dan bakat yang di miliki anak berkebutuhan khusus. Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pemberian kasih sayang yang tulus pada anak berkebutuhan khusus dari orang terdekat seperti orang tua, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Itulah modal dasar dalam penanganan anak berebutuhan khusus.
Dengan pemberian layanan pendidikan khusus, upaya sistematis dan sinergi bersama dari semua pihak dan pemberian kasih sayang bagi anak berkebutuhan khusus, setidaknya dapat memberikan bantuan dan konstribusi untuk pengembangan potensi anak berkebutuhan khusus secara lebih baik serta pengembangan adaptasi sosial dalam diri untuk masa depan secara lebih mandiri. Upaya itulah sebagai bentuk artikulasi dari empat pilar pendidikan yang dikeluarkan UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together.!